A Colourful Journey at Semeru Mountain
Pagi itu, Matahari pagi mulai
menyapa kami yang masih pengen leyeh-leyehan di dalam tenda. Udara dingin di
Ranu Kumbolo membuat kami malas untuk bergerak. Rasanya pengen terus berada di
dalam sleeping bag. Aas yang sudah
siap lebih dahulu, menyapa dan menanyakan kabar kami. Cerita semalam pun kami
ulang lagi untuk mereka (Aas, Aldi dan Lea).
Aldi yang baru tahu kondisi kaki
Pea langsung berubah jadi Kang Urut pro heheh. Kekhawatiran kalau Pea nggak
bakal melanjutkan perjalanan ini pun sirna karenanya. Aldi ini bener-bener multitalent sekali, jadi kang masak
jago, kang foto lebih jago lagi, ehh jadi kang urut pun doi jago “mantullll”.
Untung aja waktu itu kami ngajak Aldi buat ikutan ke Semeru, kalau nggak ada
doi, nggak tau deh gimana jadiny perjalanan kami ini. Pokoknya Aldiii is The
Best lahh..
Sebelum melanjutkan perjalanan
menuju Kalimati (tempat kami nginap
selanjutnya, sebelum muncak). Kami pun mulai siap-siap. Sarapan plus makan
siang kami waktu itu sungguh ala kadarnya, nasi yang nggak matang menyeluruh
dan sosis. Jangan ditanya kenapa, yang masak aja bingung hahah. Segala urusan
masak-masak kami serahkan ke mak Aldi dan eonni Oshyn. Saya??? Tugas saya cuman
membantu semampunya plus cuci piring hahaha. Melihat kondisi brunch kami yang mungkin agak ngenes
menurut orang-orang yang liat secara langsung, membuat tetangga kami prihatin
dan menawarkan sisa makanannya yang masih ada. Nggak sampai 5 menit semuanya
ludess dan bersih, begitu pun dengan nasi mentah kami hhehhe. Aldi pun bertekad
untuk membuat masakannya jadi lebih baik lagi.
Kami pun melanjutkan perjalanan
kami. Sebelum sampai di Kalimati, ada beberapa titik yang harus kami lewati,
yang pertama adalah Tanjakan Cinta. Yang menurut orang-orang atau berdasarkan
buku 5 cm yang saya baca, konon katanya kalau kita melewati tanjakan cinta ini,
tanpa berbalik ke belakang dan sambil memikirkan orang yang kita sukai, katanya
apa yang kita harapkan bakal terwujudkan. Percaya atau tidak semuanya ada di
tangan anda hehe. Saya?? Tentu saja saya tidak percaya, tapi waktu itu saya
melewati Tanjakan Cinta sambil memikirkan seseorang yang tidak mungkin saya
miliki. Siapa dia? Dia adalah Oppa, Oppa gangnam style hahahahahahhahahaha.
setelah melewati tanjakan cinta |
Setelah melewati Tanjakan Cinta, yang kalau diliat dari bawah seperti “mmmm B aja” dannn pas dilalui *fiuhhhhhhh mayan yahhh. Lumayan sangat menguras tenaga ek yang pemula ini hehe. Mungkin ini yang jadi penyebab “takhayul-takhayul” tersebut muncul, biar jadi penyemangat pas nanjak di Tanjakan Cinta. Setelah berhasil menaklukkan Tanjakan Cinta, kami pun disuguhkan dengan pemandangan Padang padang rumput yang sangat indah, tempat ini dinamakan Oro-oro Ombo. Kami cukup beruntung waktu itu, bunga Lavender lagi pada mekar dengan indahnya.
Selanjutnya, kami memasuki hutan
cemara yang dinamakan Cemoro Kandang. Setelah melewati Cemoro Kandang, kami pun
tiba di Jambangan dengan ketinggian kurang lebih 2600 mdpl. Di jambangan ini
tempat biasa edelweis tumbuh, sayangny waktu itu kami kurang beruntung, belum
bisa melihat bunga edelweis. Dari sini masih ada sekitar 2 km lagi untuk sampai
di Kalimati, tempat kami akan beristirahat sebelum muncak di Mahameru. Di
tengah perjalanan kami bertemu dengan sepasang Pendaki yang membawa
anak-anaknya yang masih berusia sekitar 8-9 tahun dan yang satunya balita. Saya
yang tadinya sudah mulai lelah, langsung on
fire lagi pas liat bocah-bocah yang masih segar bugar itu. “masa na kalahko
ini ana-ana taya” pikirku waktu itu.
Setelah berbincang dan berpamitan
dengan keluarga tersebut kami pun mulai mempercepat langkah kami, mengingat
Matahari sudah ingin berpamitan dan Kalimati pun belum terlihat letaknya.
Waktu itu kami tiba di Kalimati
kira-kira pukul 7 atau 8 malam. Dari kejauhan sudah terlihat kerlap kerlip
headlamp para pendaki yang sudah mulai mendaki ke Mahameru.
Mas Dik: mbak liat di sana
(sambil menunjuk ke arah puncak Mahameru). Itu cahaya lampu yang sudah mulai
muncak terlebih dahulu, sepertinya besok bakal lebih ramai lagi. Kita harus
istirahat lebih awal mbak biar besok bisa mulai muncak jam 12 malam nanti.
blablablabla
Saya cuman bisa menganggukkan
kepala dari semua yang Mas Dik katakan, berusaha agar terlihat fokus dengan apa
yang dia ucapakan, walau sebenarnya mata saya lebih fokus menatap cahaya
lampu-lampu yang dari kejauhan terlihat seperti cahaya bintang yang berjejer
ngantri untuk sampai di tujuan mereka.
Setelah makan malam,
bersih-bersih, kami pun langsung istirahat. Perasaan saya waktu itu campur
aduk, antara nggak sabar pengen cepat-cepat muncak dan takut. “bisa ngga yah? Bakal
aman-aman saja kan?? blablablabla” pertanyaan-pertanyaan tersebut mulai
memenuhi kepala saya dan berusaha saya tepis dengan mengingat kembali tujuan
utama kami Semeru dan segala usaha dan perjuangan yang sudah kami lalui untuk
bisa sampai ke sini. Ada satu hal yang saya ingat dan menjadi penguat saya
malam itu bahwa “apa yang kamu pikirkan, itu yang akan Allah berikan. Jadi
cobalah untuk selalu berprasangka baik dengan Allah”. Saya pun mengganti
kalimat negatif tersebut dengan kalimat positif. “pasti bisa lah taya, mahameru
tinggal dikit lagi bisa kamu gapai, salto 5 kali sudah sampai kok (heheh) dan
Insya Allah semuany bakal aman”. Kalimat-kalimat ini terus terulang sampai saya
berhasil terlelap malam itu.
Pukul 12.30, Mas Dik pun
membangunkan kami, telat setengah jam dari yang dijadwalkan. Saya, Aas, Lea, ,Oshyn,
dan mbak Asma pun mulai bersiap-siap.
Waktu itu semua tas kami simpan ditenda, cuman mas dik dan temannya saja yang
membawa ransel kecil untuk kebutuhan kami selama perjalanan ke Mahameru. Aldi
memutuskan untuk tidak ikut muncak dan tinggal di tenda menjaga Pea yang masih
cedera waktu itu. Sebelum berangkat, kami berdoa bersama dan mulai melangkahkan
kami menuju Mahameru.
Suara angin semriwing dan
jangkrik jadi ost perjalanan kami waktu itu. Kami pun jadi lebih diam dan fokus saat memasuki
wilayah Arcopodo, sesekali berbalik ke belakang untuk menanyakan kondisi yang
ada ada di bekalang kami. Medan perjalanan kala itu lebih sulit dari perjalanan-perjalanan
kami sebelumnya. Lebih menanjak, curam, berdebu, dan kondisinya tanah tidak
stabil dan mudah longsor, jadi kami harus ekstra hati-hati, salah jalan sudah bhay,
bisa-bisa jatuh ke jurang, dan hal ini hampir dialami oleh oshyn yang hampir
jatuh ke jurang karena terpleset, untuknya dengan singap kami langsung
menahannya. Dengan cahaya seadanya saya langsung menyenter ke arah tempat oshyn
jatuh, dan syok ternyata dekat situ ada lubang yang langsung ke jurang *fiuhh.
Dari kejauhan jejeran cahaya
lampu itu semakin ramai, rumor yang mengatakan bahwa lagi ada kemacetan lalu
lintas di Mahameru pun sudah sampai di telinga kami. Setiap pendaki yang
melewati kami pasti selalu berkata “di atas macet mbak, nggak bisa gerak”. Pendaki-pendaki tersebut adalah beberapa dari banyak
pendaki yang menyerah untuk sampai ke Mahameru. Mereka menyerah karena jika
tidak bergerak udara dingin jadi lebih terasa dingin. Hipotermia menjadi
ancaman yang menakutkan dan mereka pun memutuskan untuk balik ke tenda mereka.
Kami tetap melanjutkan
perjalanan, walau sebenarnya kami sudah mulai ragu untuk melanjutkan
perjalanan ini. Di tengah perjalanan, terlihat kumpulan porter yang sedang
menghangatkan diri di api unggun yang mereka buat. Mas Dik pun memutuskan untuk
istirahat sejenak dan berujung pada gagalnya kami untuk sampai ke Puncak Mahameru.
Sambil menghangatkan diri, Mas
Dik mulai bertanya dengan porter-porter tersebut tentang kondisi di bukit pasir
menuju Mahameru. Para porter itu menyarankan kami untuk tidak melanjutkan
perjalanan kami karena macet yang konon katanya baru terjadi di Gunung Semeru. Semua
karena banyaknya pendaki yang berkunjung ke Semeru waktu itu setelah
berbulan-bulan ditutup.
Kami pun, saling bertatapan dan
sudah bisa membaca apa yang ada di pikiran kami masing-masing, yaitu tidak melanjutkan perjalanan ini. Keinginan untuk
bisa sampai ke puncak Mahameru pupus sudah. Sedih, itu sudah pasti,
sudah jauh-jauh datang tapi nggak bisa sampai ke Mahameru rasanya….. “ahhh
sudah lah belum rejeky" (berusaha untuk mehibur diri).
Mencoba untuk tidak membiarkan
perasaan sedih itu menghancurkan perjalanan kami. Saat Matahari sudah mulai muncul, kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sampai ke batas
wilayah vegetasi dan bukit pasir untuk bisa lebih dekat lagi dari puncak
Mahameru. Jika tidak bisa sampai ke puncak setidaknya bisa melihat lebih dekat
lagi puncak yang tidak bisa kami gapai itu. kami (saya, Aas, Lea, Oshyn dan mba
Asma) pun memutuskan melanjutkan perjalanan kami tanpa di temani mas Dik yang
lagi tertidur lelap. Teman mas Dik pun ikut dengan kami, saat kami singgah
untuk beristirahat mas B ijin untuk berangkat lebih dulu.
Mas B: mbak aku diluan
yah, kali aja masih keburu. Bisa sampai.
Saya: iya mas diluan aja, nggak
papa, nggak usah ikutin kami.
Di perjalanan ini lah, kami
bertemu dan kenalan dengan 2 porter remaja, Uul dan Samsul. Melihat mereka
dengan lincahnya bisa bolah balik di sekitaran arcopodo membuat kami iri.
Aas: eh kalian yang tadi kan yang
ada di api unggun? Kalian sudah sampai puncak yah?
Uul: sudah mbak 2 kali
Saya: seriusan?? Masa sih..
Samsul: iya mbak dekat kok..
(sambil memasang senyum malu-malunya) diluan yah mbak.
Mereka pun melanjutkan perjalanan
mereka sambil kejar-kejaran satu sama lain
“Wadduh nih bocah keknya belajar jalan di gunung deh hahah” pikirku.
Untungnya kami masih bisa menikmati pemadangan negeri di atas awan dari pinggir tebing
Arcopodo. Yang mungkin akan lebih cantik lagi jika di lihat dari puncak *fiuhhh.
Setelah sampai di batas wilayah
vegetasi. Sambil menatap puncak yang sudaahh jauh lebih dekat di mata, sayapun
bergumam dalam hati “kami ngutang dulu yahh nanti kalau ada rejeky, Insya Allah
bisa ketemu kamu lagi”. Dan saya yakin, Aas, Lea dan Oshyn pun pasti memiliki
percakapan dalam hati yang sama dengan saya waktu itu hehehe.
di antara batas vegetasi dan bukit pasir |
Setelah menikmati pemandangan di
sekitar, kami pun balik ke tenda.
Ost kami waktu itu adalah lagu India. Di sepanjang
jalan Arcopodo, kami bertingkah seolah-olah lagi syuting MV India sambil
menyanyikan ost Kuch-Kuch Hotahai dan beberapa film India lawas. Cuman
bermodalkan pohon-pohon yang ada dengan pedenya kami berjoget dan bernyanyi
dengan suara sumbang hahahhaha. Beberapa rombongan pendaki yang melewati kami
pasti berkata “wahh mbak mbak ini semangat skali yahh (sambil menertawakan
tingkah kami yang mungkin sedikt seperti orang gila hahahah). Nyanyi-nyayi
nggak jelas tersebut menjadi salah satu cara untuk menghibur diri kami waktu
itu hahahahhaha.
Bersambung
xoxo
tayatumada
0 komentar